Kisah Petani Pulang Pisau-Kapuas Jalani Program Udara Bersih Indonesia, Hindari Praktik Bakar Lahan

PULANG PISAU (eMKa) – Selama berpuluh-puluh tahun, para petani di Kalimantan terbiasa membakar sisa tanaman sebelum musim tanam baru dimulai. Cara ini dianggap praktis, tetapi justru merusak tanah dan memperburuk kualitas udara. Kini, kebiasaan itu mulai ditinggalkan. Melalui program Udara Bersih Indonesia (UBI) dari Yayasan Field Indonesia, beberapa dari mereka dikenalkan dengan metode Mulsa Tanpa Olah Tanah (MTOT), teknik pertanian yang tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga membantu mengurangi kebakaran lahan.

MTOT mengubah cara petani mengelola lahan. Alih-alih membakar jerami atau gulma, mereka justru memanfaatkannya sebagai mulsa untuk menjaga kelembapan tanah, mengurangi penggunaan pupuk kimia, dan memperbaiki kesuburan tanah dalam jangka panjang. Hasilnya, produktivitas tanaman meningkat tanpa harus mengandalkan metode konvensional yang merusak lingkungan.

Puluhan petani di Pulang Pisau dan Kapuas mulai mencoba metode ini setelah dikenalkan melalui program UBI yang dijalankan oleh Yayasan Field Indonesia dengan dukungan Earth Care Foundation sejak 2021 lalu. MTOT adalah teknik yang memanfaatkan mulsa organik seperti jerami, daun, atau rumput kering untuk menutupi tanah. Dengan metode ini, mereka tidak perlu membakar sisa tanaman, yang selama ini umum dilakukan untuk membersihkan lahan. Selain mengurangi polusi udara, mulsa juga membantu menjaga kelembapan tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.

Direktur Eksekutif Yayasan Field Indonesia, Heru Setyoko, menilai pembakaran lahan tidak hanya berdampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga merugikan petani dalam jangka panjang.

“Jika petani masih membakar lahan, dampaknya sangat luas. Organisme tanah bisa mati, kesuburan tanah berkurang, dan hasil panen menurun,” ujarnya saat meninjau lahan di Anjir Pulang Pisau, Sabtu (22/2).

Menurut Heru, penggunaan mulsa dapat memperbaiki kualitas tanah, yang pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan hasil panen.

“Mulsa dapat memperbaiki tanah, dan itu sangat penting untuk pertumbuhan tanaman,” jelasnya.

Sejauh ini, penerapan metode ini semakin meluas. Awalnya, mereka mencoba di lahan sekitar 100 meter persegi, dan beberapa kini mulai memperluasnya hingga satu hingga tiga hektare.

“Dari segi kualitas tanah, kondisinya semakin baik karena banyak mikroorganisme yang berkembang di dalamnya. Pertumbuhan tanaman juga lebih bagus, dan hasil panennya meningkat,” kata Heru.

Menurutnya, metode ini memberikan hasil yang cukup signifikan. Di sektor padi, misalnya, produktivitas disebut bisa meningkat hingga 70 persen, sementara di sektor sayuran ada yang mencapai peningkatan 100 persen.

Salah satu petani yang merasakan manfaat metode ini adalah Irjin. Sebelumnya, ia bekerja sebagai mandor di perusahaan kelapa sawit. Namun, karena prospek ekonomi yang terbatas, ia memilih untuk kembali bertani seperti keluarganya.

Awalnya, ia menanam sayuran seperti tomat, terong, cabai, dan kacang panjang. Namun, keterbatasan modal untuk membeli pupuk dan pestisida membuat hasil panennya tidak optimal. Ia bahkan sempat berpikir untuk berhenti bertani.

Keadaan berubah ketika ia bertemu dengan Sugeng, seorang petani utama, dan Apo, koordinator UBI. Mereka memperkenalkan metode MTOT dan manfaatnya dalam mengurangi biaya produksi serta meningkatkan hasil panen.

Irjin pun mencoba metode ini pada sebagian kecil tanamannya. Ia menutupi tanah dengan mulsa dan menggunakan pupuk organik dari daun yang dicampur dengan cangkang telur. Hasilnya, tanaman yang menggunakan MTOT tumbuh lebih baik dibandingkan yang tidak. Tanaman yang tidak menggunakan MTOT tumbuh lebih lambat dan lebih rentan terhadap hama serta penyakit.

Melihat perbedaannya, Irjin pun mulai menerapkan MTOT di seluruh lahannya. Dalam beberapa waktu, lahannya berkembang dari hanya 300 meter persegi menjadi lebih dari 1 hektare. Kini, lebih dari 90 petani di sekitarnya telah mengikuti jejaknya setelah melihat hasil nyata dari metode ini.

Di Desa Sungai Pasah, Kecamatan Selat, Kapuas, banyak petani juga mulai mengadopsi metode ini. Sebelumnya, mereka terbiasa membakar sisa jerami di sawah dengan anggapan dapat menyuburkan tanah. Namun, praktik ini justru membuat tanah semakin kering dan membutuhkan pupuk kimia lebih banyak untuk mengembalikan kesuburannya.

Setelah mengikuti program UBI, mereka mulai memahami manfaat menggunakan jerami sebagai mulsa. Selain menjaga kelembapan dan meningkatkan kesuburan tanah, metode ini juga mengurangi kebutuhan tenaga kerja untuk membersihkan lahan.

Program ini kini diterapkan di 30 desa di Kalimantan Tengah, tersebar di tiga kabupaten: Kapuas, Katingan, dan Pulang Pisau. Dari tiga wilayah ini, Kapuas disebut mengalami perkembangan paling pesat, terutama dalam peningkatan hasil panen padi dan sayuran.

“Program ini sangat bagus untuk mendukung kemajuan petani, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan suhu yang semakin panas. Karena itu, kami menyarankan penggunaan mulsa yang dapat memperbaiki kondisi tanah di lokasi setempat,” kata Heru.

Sementara itu, Earth Care Foundation, yang mendukung program ini, awalnya menamakan inisiatif ini Burn Free Indonesia karena fokusnya pada pengurangan kebakaran lahan.

Robert P. dari Earth Care Foundation mengatakan bahwa pihaknya mendukung program ini karena selaras dengan fokus produksi pangan dan konservasi lingkungan.

“Ya, kami sangat senang karena mitra kami, Field Indonesia, benar-benar telah membuktikan bahwa teknik yang diterapkan ini berhasil. Tentu saja, dengan bimbingan dari para penasihat kami, teknik yang kami perkenalkan di Indonesia, bahkan di lahan gambut, ternyata dapat diterapkan dan diadaptasi oleh petani setempat,” katanya.

Menurutnya, metode MTOT tidak hanya berdampak pada hasil panen tetapi juga membantu mengurangi tenaga kerja dan penggunaan bahan kimia pertanian.

“Dengan metode ini, petani juga tidak lagi menggunakan mulsa plastik, yang sebenarnya turut berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sebaliknya, teknik ini sepenuhnya organik, mampu menahan kelembapan, serta berfungsi sebagai pupuk dalam jangka panjang. Hasilnya adalah tanaman yang sehat dan produktivitas yang lebih tinggi,” ujar Robert.

Sejauh ini, metode MTOT semakin banyak diterapkan oleh petani setempat. Jika hasilnya terus positif, diperkirakan lebih banyak petani yang akan beralih ke cara ini di masa depan. (dmo/jrx)

Mungkin Anda Menyukai