BANJARMASIN (eMKa) – Alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit dan tambang batubara semakin meluas di Kalimantan Selatan, memperburuk krisis lingkungan yang tengah dihadapi daerah tersebut. Sekitar 2,5 juta hektar lahan di Kalsel telah berubah menjadi area perkebunan dan tambang, yang mengancam ekosistem serta keberlanjutan hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan dan lahan.
Hal ini dibahas dalam sebuah diskusi interaktif dalam rangka memperingati HUT ke-25 Kalimantan Post yang diselenggarakan pada 15 Januari 2025. Diskusi yang dipandu oleh Sukhrowardi, aktivis 98 dan Kabid Pengembangan Media Kalimantan Post.
Jefry Raharja, Perwakilan Walhi Kalsel, mengungkapkan bahwa ekspansi industri sawit dan tambang ini telah merusak kawasan hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga kehidupan, seperti penyedia oksigen dan pengatur iklim. “Alih fungsi lahan ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial yang dialami masyarakat adat,” ujar Jefry.
Sementara itu, Kisworo Dwi Cahyono, aktivis lingkungan di Kalsel, mengingatkan bahwa krisis lingkungan di Kalsel semakin parah dengan bencana ekologis yang kerap terjadi. “Kalsel kalau musim hujan kebanjiran, musim kemarau kebakaran. Harusnya kita semua sadar untuk menyelamatkan lingkungan, seperti menjaga Pegunungan Meratus dari industri ekstraktif dan perkebunan monokultur,” kata Kisworo.
Kisworo menambahkan, “Pegunungan Meratus itu ibaratnya sekarang tinggal atap. Kalau atapnya juga dirusak maka mau ke mana lagi kita berlindung?” Ia mengajak masyarakat untuk mengevaluasi dan mencabut izin untuk perkebunan, pertambangan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang memiliki dampak merusak terhadap lingkungan hidup dan sebagai bentuk dari langkah konkret dari mitigasi bencana.
Terkait dengan upaya mitigasi bencana yang semakin mendesak, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kalsel, Bambang Dedi Mulyadi, menyatakan bahwa kondisi bencana di Kalsel saat ini membutuhkan perhatian serius dalam penguatan regulasi. “Kalsel hari ini memang kondisinya berdasarkan pemetaan yang kami lakukan. Saat ini yang perlu diperkuat adalah regulasinya. UU Penanggulangan Bencana yang dikeluarkan tahun 2007 sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, Pemprov Kalsel sudah mengeluarkan Perda No.16 tahun 2017, dan dengan dasar ini, berbagai strategi mitigasi telah dilaksanakan, termasuk upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut seperti yang terjadi pada tahun 2023. “Kami mengupayakan agar kebakaran serupa tidak terulang kembali pada tahun 2024. Kami mempercepat pembasahan lahan gambut, termasuk di sekitar Bandara Syamsuddin Noor yang terkena dampak kebakaran besar,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa kolaborasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sangat penting dalam menangani bencana yang sering terjadi di Kalsel. “Kalsel setiap tahunnya selalu masuk dalam 10 besar daerah dengan potensi bencana terbesar di Indonesia, karena cuaca ekstrem dan perubahan tata lingkungan. Tantangan pemerintah ke depan adalah menangani dan mengatasi bencana,” tambah Bambang. (jrx/dmo)